Selasa, 03 Februari 2009
PERAN LINGKUNGAN DALAM PELEROLEHAN BAHASA KEDUA
Setiap pembelajar bahasa memiliki piranti pemerolehan bahasa (Language Acquisition Device), namun piranti ini belum dapat menjamin keberhasilan pembelajar dalam menggunakan bahasa kedua. Hal ini disebabkan LAD sangat bergantung pada ketersediaan data masukan yang baik dari bahasa sasaran. Pada umumnya data masukan itu berasal dari lingkungan bahasa pembelajar.
Krashen menyatakan bahwa pembelajaran memperoleh bahasa kedua hanya dengan cara saja, yakni dengan cara mengerti makna pesan yang sampai kepadanya. Dengan kata lain si pembelajar dapat berbahasa kedua karena memiliki ketepahaman masukan; si pembelajar telah mendapat masukan yang bisa dimengerti maknanya. Jika masukan yang diterimanya tidak dapat dipahami, maka penguasaan bahasa kedua pembelajar tidak dapat bertambah sebab masukan itu tidak dapat diproses lebuh lanjut (Saryono, 1991: 56). Pembelajar dapat mengerti wacana yang berisi tatabahasa yang tidak diurutkan penyajiannya karena adanya bantuan konteks, pengetahuannya tentang kehidupan dan alam sekitarnya dan kemampuan linguistik yang telah dikuasainya.
Lebih jauh Krashen menegaskan bahwa input atau masukan berhubungan dengan masalah pemerolehan, bukan pembelajaran (Krashen,1982:21). Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa lingkungan informal memiliki hubungan yang erat (pengaruh yang besar0 terhadap proses penguasaan bahasa kedua.
Dengan proses inferensi data bahasa yang masuk sebagai masukan dalam pemerolehan bahasa kedua dapat diangkat sebagai pengetahuan linguistik yang sebelumnya tidak diketahui pembelajar. Pengetahuan linguistik ini didapat dengan cara mengaji dan menguji berulang-ulang tentang kebenaran pengetahuan linguistik dengan bahasa sasaran. Sehingga proses pemerolehan dapat menghasilkan pengetahuan linguistik yang dapat dipakai sebagai monitor.
Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa lingkungan informal berperan dalam pemerolehan bahasa kedua. Lingkungan informal dapat berperan sebagai masukan.
Lingkungan Bahasa
Lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar terkait dengan bahasa kedua yang sedang dipelajari. Yang tergolong lingkungan bahasa adalah situasi di rumah ketika nonton televisi, percakapan dengan kawan-kawan, dalam proses belajar mengajar di kelas, dan sebagainya. Kualitas lingkungan bahasa sangat penting bagi keberhasilan pembelajar dalam mempelajari bahasa kedua (Dulay, 1982:13).
Secara umum lingkungan bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yakni (10 lingkungan formal, yang dijumpai dalam proses belajar ,mengajar, (2) lingkungan informal (Krashen,1982:40). Krashen juga menyatakan bahwa untuk menguasai bahasa kedua pembelajar dapat menggunakan dua cara yakni melalui proses pembelajaran dan melalui proses pemerolehan. Pembelajaran merupakan proses yang disadari dan bertitik berat pada perhatian pembelajar pada bentuk bahasa atau struktur. Sedangkan pemerolehan merupakan proses yang serupa pada saat menerima bahasa pertama. Pemerolehan berlangsung sejalan dengan aktivitas yang tidak disadari oleh pembelajar. Dalam proses ini lazimnya lebih menekankan pada makna atau pesan, berlangsung secara alami, tanpa pengajaran formal (Ellis,1986:6).
Uraian di atas memperjelas bahwa lingkungan formal sangat berkaitan dengan pembelajaran. Lingkungan informal berkaitan dengan proses pemerolehan. Dalam komunikasi situasi formal frekuensinya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan situasi informal. Hal ini menjadikan lingkungan informal lebih berperan daripada lingkungan formal.
Lingkungan informal terjadi secara alami. Yang tergolong lingkungan informal adalah bahasa yang dipakai teman sebaya, bahasa pengasuh, bahasa orang tua, bahasa yang dipakai di media cetak atau elektronik dan bahasa yang dipakai guru dalam proses belajar mengajar di kelas.
Dulay (1982) menyatakan terdapat empat hal dari lingkungan bahasa yang berpengaruh dalam pemerolehan bahasa kedua, yakni, (1) sifat alami bahasa sasaran, (2) cara pembelajar dalam berkomunikasi, (3) adanya acuan yang konkret, dan (4) model bahasa sasaran. Dalam lingkungan bahasa yang bersifat alami titik berat komunikasi adalah isi pesan, bukan bentuk linguistiknya atau tata bahasa. Belajar bahasa secara alami akan memperlihatkan hasil kemampuan berbahasa yang lebih baik daripada melalui lingkungan formal yang lebih menitikberatkan pada pemerolehan bahasa secara sadar tentang aturan-aturan bahasa ataupun pemakaian bentuk formal linguistik.
Lebih jauh Dulay juga menjelaskan bahwa cara pembelajar berkomunikasi, baik komunikasi satu arah, komunikasi dua arah terbatas maupun penuh, sangat berpengaruh pada pemerolehan bahasa kedua. Dalam komunikasi satu arah, pembelajar hanya membaca atau mendengar bahasa kedua, tetapi pembelajar tidak dapat merespon. Dalam komunikasi dua arah terbatas pembelajar akan mendengar bahasa kedua, kemudian memberikan respon secara nonverbal atau tidak menggunakan bahasa sasaran. Sedangkan dalam komunikasi dua arah penuh. Pembelajar mampu meberikan jawaban dalam bahasa sasaran. Dari kenyataan ini dapat dilihat betapa pentingnya lingkungan bahasa memberikan masukan bahasa kedua, yang memungkinkan pembelajar mampu berkomunikasi dua arah penuh. Tentunya hal ini terjadi secara bertahap.
Adanya acuan bahasa yang konkret juga harus diperhatikan. Oleh karena itu, peristiwa yang diangkat sebagai bahan harus merupakan peristiwa atau hal yang dapat dilihat, didengar atau dirasakan secara langsung oleh pembelajar ketika percakapan sedang berlangsung. Komunikasi yang demikian dapat menjamin pembelajar dapat memahami banyak hal tentang apa yang dikatakannya dalam bahasa kedua. Dengan demikian dapat memicu perkembangan dan pemerolehan struktur dan kosakata bahasa sasaran.
Terkait dengan ketersediaan acuan konkret Long (Ellis,1982:157-158) menyatakan agar masukan dapat terpahami maka perlu diperhatikan bebeapa hal, (1) struktur dan kosakata yang digunakan berkomunikasi hendaknya sudah dikuasai oleh pembelajar, (2) berorientasi pada bahan yang bersifat “here and now”, (3) struktur interaksi dalam komunikasi harus dimodifikasi sedemikian rupa.
Dalam mempelajari bahasa kedua, pembelajar selalu memilih model yang mampu menghasilkan ujaran yang baik dan benar. Model bahasa kedua ini dapat dipilih sendiri oleh pembelajar dari lingkungan bahasanya. Model tersebut bisa jadi dari kawan, guru, orang tua, buku-buku, majalah atau koran, penyiar radio atau televisi dan sebagainya.
Peran Lingkungan Informal terhadap Pemerolehan Bahasa Kedua
Telah diuraikan bahwa lingkungan informal berperan dalam pemerolehan bahasa kedua. Peran tersebut menyangkut keberadaannya sebagai bahan masukan sekaligus bahan monitor. Salah satu lingkungan bahasa yang banyak berperan adalah teman sebaya.
Teman sebaya tampaknya memiliki pengaruh lebih besar dari pada orang tua atau guru terhadap pembelajar bahasa kedua. Milon (1975) dalam penelitiannya menemukan bahwa seorang anak Jepang berusia tujuh tahun yang imigrasi ke Hawaii lebih memahami ‘the hawaiian Creole English” yang dipelajari dari teman sebayanya dibandingkan denan “the english standart’ yang diajarkan gurunya. Anehnya ketika ia berpindah pada lingkungan kelas menengah dengan cepat ia mampu memakai bahasa Inggris baku seperti yang dipaki teman-temannya.
Hal serupa juga terjadi pada program celup di Kanada dan Amerika Serikat. Dalam program celup mengharuskan siswa-siswinya hanya memakai bahasa sasaran sebagai alat komunikasi sepanjang jam-jam sekolah. Kenyataan memperlihatkan bahwa siswa hanya akan memakai bahasa sasaran di dalam kelas, sedangkan di luar kelas bersama-sama kawannya akan digunakan lagi bahasa pertama.
Bukti lain tentang hal itu adalah pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah terutama di daerah. Dalam proses belajar mengajar di kelas, siswa menggunakan bahasa Indonesia hanya bila berkomunikasi dengan guru. Sementara jika berkomunikasi dengan teman-temannya cenderung mengggunakan bahasa pertama. Hal ini juga terjadi di luar jam pelajaran, frekuensi penggunaan bahasa pertama lebih besar dibandingkan dengan bahasa kedua (bahasa Indonesia).
Hal ini membuktikan bahwa problema program celup atau pengajaran bahasa Indonesia sebenarnya tidak terletak pada bagaimana cara anak-anak belajar, atau karena kualitas bahasa sasaran yang dipakai guru selama jam pelajaran berlangsung. Hal terpenting ternyata adalah menyediakan atau menyiapkan teman-teman sebagai model dalam bahasa sasaran (Dulay,1986).
Bahasa guru pun secara tidak langsung akan menjadi model bahasa sasaran, walaupun pengaruhnya tidak sebesar pengaruh bahasa yang dipakai teman-teman. Menurut Krashen bahasa guru dalam pengajaran bahasa asing mirip denan bahasa pengasuh. Para guru cenderung menggunakan struktur kalimat yang pendek atau sederhana ketika berkomunikasi dengan pembelajar.
Berikut ini beberapa hasil penemuan model bahasa guru dan perannya dalam pemerolehan bahasa kedua (Ellis,1986).
Bahasa guru pada umumnya memiliki ciri penyesuaian secara formal pada seluruh tataran kebahasaan. Gaies (1977;1979) melihat bahwa ujaran guru menampakkan penyederhanaan aturan sintaktik ketika ia berbicara di tengah-tengah siswanya. Henzl (1979) bahkan melihat bahwa bahasa guru pun seringkali disesuaikan dengan tataran kecakapan murid yang diajak berbicara.
Bahasa teman sebaya juga memiliki pengaruh besar dibandingkan bahasa bahasa orang tua. Anak-anak akan lebih banyak mempelajari perilaku bahasa dari teman-temannya daripada dari orang tuanya (Dulay,1982:31).
Lingkungan orang tua ini tampaknya hanya terbatas pada peran bahasa pengasuh terhadap pemerolehan bahasa pertama. Sedangkan untuk pembelajar dewasa, kekuatan bahasa pengasuh ini semakin berkurang, lebih-lebih bila dihubungkan dengan pemerolehan bahasa kedua. Bahasa pengasuh lebih mirip dengan bahasa penutur asing.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa linkungan bahasa teman sebaya memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan dengan orang tua dan guru dalam pemerolehan bahasa kedua. Pada program celup akan berhasil lebih baik jika tersedia penutur asli seagai teman sebaya pembelajar.
Bahasa teman sebaya, orang tua, guru, dan penutur asing merupakan lingkungan informal yang mampu menjadi data masukan yang baik dan abstraksi yang berupa aturan-aturan linguistik dapat dipakai sebagai bahan monitor.
Dalam pemerolehan bahasa kedua, peran lingkungan informal perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dibandingkan lingkungan formal.
Kamis, 29 Januari 2009
PERPUSTAKAAN SEKOLAH SEBAGAI PUSAT PERADABAN
Library is central of civilization. Sebuah ungkapan yang tidak berlebihan bila kita berbicara tentang perpustakaan. Jika dirunut dari sejarah, maka benar adanya bahwa perpustakaan adalah pusat peradaban. Akan tetapi, jika kita melihat kondisi sebagian besar perpustakaan yang ada sekarang, rasanya ungkapan tersebut sangat berlebihan. Perpustakaan seringkali terpinggirkan, tidak hanya dari segi lokasi, tetapi juga dari segi isi dan kelengkapan yang ada. Kalaupun perpustakaan di lokasi yang strategis, dengan gedung yang megah, maka permasalahannya adalah miskin pengunjung.
Hal ini tidak hanya terjadi di perpustakaan umum, tetapi juga di perpustakaan sekolah. Kalau demikian, maka akan muncul pertanyaan bahwa benarkah perpustakaan (termasuk perpustakaan sekolah) itu merupakan pusat peradaban? Mampukah sebuah perpustakaan sekolah menjadi pusat peradaban? Bagaimanakah perpustakaan sekolah yang ideal sehingga perpustakaan mampu mencerminkan sebuah pusat peradaban?
Rasanya tidak berlebihan, jika kita ingin menjadikan perpustakaan sekolah menjadi pusat peradaban. Sejarah perpustakaan diawali ketika manusia purba mencoret-coret dinding gua. Mereka mencoba mengkomunikasikan kepercayaan, ide dan gagasannya, coretan-coretan itu sebenarnya merupakan informasi yang disampaikan kepada orang lain. Itu adalah cikal-bakal pertumbuhan perpustakaan.
Ketika manusia sudah mulai mengenal tulisan berbagai catatan, ide, kepercayan itu dituangkan pada prasasti, daun papirus dan daun lontar, perpustakaan mulai mengalami perkembangan pesat. Terlebih lagi dengan ditemukannya mesin cetak. Berbagai macam penemuan, berita, peristiwa dan hasil budaya manusia dicatat, dituangkan dalam bentuk buku. Hal yang sama, terjadi tatkala mesin rekam ditemukan.
Bahan pustaka yang berupa catatan kuno, buku atau hasil rekaman adalah penuangan pikiran, perasaan maupun kehendak manusia untuk dikomunikasikan kepada pihak lain, baik di masa itu maupun di masa mendatang. Bahan pustaka tersebut di atas dikumpulkan, disimpan, dan dipelihara untuk dilestarikan oleh perpustakaan guna dikomunikasikan kepada generasi mendatang, agar mereka mengetahui tingkah laku dan kebudayaan masyarakat, bangsa itu. Berbagai pengetahuan tentang kebudayaan masa lampau dan masa kini suatu bangsa dapat dengan mudah diperoleh di perpustakaan.
Pada perkembangannya, perpustakaan merupakan wadah untuk membentuk masyarakat belajar sepanjang hayat; life long education. Perpustakaan menyajikan beragam informasi yang diperlukan masyarakat pembacanya. Di sekolah, perpustakaan pada hakikatnya merupakan lembaga yang bertugas mengelola bahan pustaka untuk kepentingan proses belajar mengajar di sekolah. Sementara sekolah sendiri merupakan sebuah lembaga penyelenggara pendidikan formal, yang bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa.
Perpustakaan sekolah dapat berfungsi sebagai pusat kegiatan belajar mengajar, pusat penelitian sederhana, pusat informasi dan rekreasi bagi pemustaka, dalam hal ini siswa, guru dan karyawan sekolah. Sedangkan tujuannya adalah untuk memenuhi kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler, merangsang keinginan dan membangkitkan minat serta kebiasaan membaca guna memperkaya ilmu pengetahuan. Keberadaan perpustakaan di sekolah dapat menunjang kegiatan belajar mengajar, sehingga pelaksanaan kegiatan kurikulum dapat lebih sempurna, sekaligus meningkatkan mutu pendidikan. Tepat kiranya dinyatakan the heart of education is teaching-learning process, the heart of teaching-learning process is library. Dengan demikian terlihat bahwa antara perpustakaan dan sekolah memiliki keterkaitan yang erat, seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Pernyataan tersebut di atas akan menjadi suatu paradoks jika kita melihat kondisi perpustakaan di sekolah-sekolah. Kalimat library is central of civilization atau the heart of education is teaching-learning process, the heart of teaching-learning process is library hanya merupakan kalimat kosong tanpa makna. Arti penting perpustakaan tidak pernah hadir dalam denyut kehidupan sekolah. Selama ini perpustakaan hanya sebagai tempat penyimpanan buku atau gudang buku, yang terletak di sudut yang tersembunyi di sekolah, sebuah ruang sempit, kumuh dan pengap.
Jika kondisi semacam ini yang terjadi di setiap sekolah, masih patutkah kita menyebut diri sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya? Akan menjadi sebuah lelucon yang tidak lucu bila kita menyatakan diri kita beradab dan berbudaya jika pusat peradabannya tidak terawat, terpinggirkan dan tidak mendapat perhatian dari warga sekolah. Bagaimana sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan dapat menjadi wahana pembentuk generasi yang berakhlak mulia, berilmu pengetahuan dan berbudaya membaca dapat terwujud, jika pusat peradaban yang menjadi sumber belajar terbengkalai? Lalu, siapakah sebenarnya yang harus bertanggungjawab atas kondisi tersebut?
Jika kondisi tersebut terjadi di sekolah, tentu komponen sekolah yang harus bertanggunngjawab. Mereka yang seharusnya menghidupkan, merawat dan mengembangkan perpustakaan. Guru harus mampu memberikan contoh dan mengajarkan pada siswanya untuk memanfaatkan perpustakaan sebagai sumber belajar, Kepala Sekolah bersama komite sekolah berkewajiban mengatur pendanaan untuk kegiatan dan kelestarian perpustakaan.
Fakta di sekolah sering menunjukkan betapa rendahnya minat baca siswa (hal ini tidak mengherankan karena minat baca para guru jauh lebih rendah), sehingga perpustakaan miskin pengunjung. Jika diajukan pertanyaan, mengapa tidak ke perpustakaan, maka jawabannya pun mudah ditebak. Perpustakaan tidak mempunyai koleksi bahan pustaka lengkap, atau koleksinya lama, tidak up to date atau perpustakaannya tidak representatif, sempit, pengap dan sebagainya. Mengapa demikian? Tidak ada dana. Itulah alasan yang akan dikemukakan Kepala Sekolah.
Demikian sulitkah bagi sekolah, dalam hal ini Kepala Sekolah untuk menyediakan sebuah perpustakaan yang representatif, perpustakaan yang dapat memenuhi kebutuhan warga sekolah?
Bukan suatu hal yang sulit, jika Kepala Sekolah memahami bahwa perpustakaan dan sekolah adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Jika ini terjadi maka dapat dipastikan perpustakaan benar-benar menjadi sebuah sentral peradaban, sentral informasi dan sumber belajar bagi warga sekolah. Tetapi sayang sekali, kondisi ini tidak banyak kita jumpai.
Sebaliknya akan sangat sulit, jika Kepala Sekolah selaku pemegang tampuk pimpinan tidak memahami arti sebuah perpustakaan bagi lembaga pendidikan. Gedung sekolah yang berdiri megah akan lebih bergengsi daripada sebuah ruang sederhana, yang menjadi pusat peradaban dan sumber belajar siswa. Ini dapat kita jumpai di banyak sekolah, perpustakaan terletak di sudut sekolah atau di bagian paling belakang, yang tidak terlihat di antara bangunan ruang-ruang yang megah. Atau perpustakaan hanya sebuah gedung megah tetapi isinya minim dan miskin pengunjung.
Salah besar jika sebuah perpustakaan sekolah mutlak harus merupakan sebuah gedung yang megah, agar dapat menjadi sebuah pusat peradaban, pusat informasi dan sumber belajar bagi warga sekolah. Tetapi tidak layak juga jika sebuah perpustakaan sekolah hanya sebuah ruangan kecil yang sempit dan pengap di salah satu sudut sekolah. Lalu seperti apakah ruangan perpustakan yang ideal?
Hal pertama yang harus dipertimbangkan adalah lokasi. Sebuah perpustakaan hendaknya berada di lokasi yang strategis sehingga mudah dijangkau oleh warga sekolah. Besar ruangan bergantung pada jumlah pemustaka (warga sekolah yang menggunakan perpustakaan). Rasio kebutuhan ruangan idealnya 0,25 m2 /siswa. Jika hal ini masih sulit terpenuhi, dapat juga digunakan ruangan yang sirkulasi udaranya baik (seperti aula sekolah) atau dapat juga salah satu bagian dari mushola sekolah.
Jika gedung sudah terpenuhi, hal kedua yang harus diperhatikan adalah bahan pustaka. Bahan pustaka yang terdapat di perpustakaan sekolah dapat berbentuk koleksi cetak dan koleksi rekam. Rasio ideal siswa dengan jumlah koleksi bahan pustaka adalah 1:10. Koleksi cetak meliputi buku-buku yang merupakan bahan ajar, berupa buku paket dan buku teks pelajaran, buku sumber seperti kamus, ensiklopedia, buku-buku ilmu pengetahuan umum, jurnal, majalah dan koran. Koleksi rekam meliputi kaset atau CD pembelajaran. Tentunya pemilihan bahan pustaka ini harus disesuaikan dengan kebutuhan pemustaka.
Dewasa ini berkembang sarana pembelajaran lain yang menggunakan teknologi informatika. Pemerintah telah meluncurkan e-book (buku sekolah elektronik atau BSE). Perpustakaan sebagai pusat peradaban dan pusat informasi hendaknya tidak alergi dengan perubahan dan perkembangan tersebut. Sebuah perpustakaan sudah selayaknya memiliki seperangkat komputer yang terhubung dengan jaringan internet. Perangkat ini diperlukan guna mengakses beragam informasi yang diperlukan, termasuk di dalamnya BSE oleh pemustaka.
Sebuah anggapan yang salah jika komputer yang terhubung dengan internet dibutuhkan oleh sekolah yang berada di kota atau sekolah yang sudah maju. Anggapan ini akan ”diamini” jika di sekolah tidak tersedia SDM yang mampu mengoperasikan internet dan tidak tersedia komputer. Padahal sekolah yang jauh dari kota yang lebih membutuhkan internet. Jika di kota besar atau sekolah maju, warga sekolah dapat dengan mudah mencari informasi dan sumber belajar selain dari perpustakaan, maka bagi sekolah yang jauh dari pusat informasi dan sumber belajar lainnya harus mampu memanfaatkan internet sebagai sumber informasi dan sumber belajar. Internet merupakan sumber belajar dan sumber informasi yang cepat. Kita dapat dengan mudah menemukan ratusan bahkan ribuan bahan ajar atau sumber belajar dari internet. Oleh karenanya, jika perpustakaan sekolah hanya mampu menyediakan koleksi cetak atau rekam dalam jumlah terbatas, maka perpustakaan harus menyediakan internet sebagai salah satu sumber belajar bagi pemustakanya. Sehingga antara antara koleksi cetak, koleksi rekam dengan internet dapat saling melengkapi.
Ketiga, adalah kegiatan penataan, pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Terdapat bermacam-macam model penataan, pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Meskipun demikian, tujuannya sama, yakni agar perpustakaan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh pemustaka, sehingga tujuan kurikuler dapat tercapai.
Tahap pertama dan kedua, peran Kepala Sekolah sangat besar. Pada tahap ketiga, yang berperan adalah petugas perpustakaan (pustakawan). Tahap berikutnya, merupakan tahap yang sangat penting dan sangat sulit karena terkait dengan kelanggengan perpustakaan. Tahap terakhir ini melibatkan warga sekolah. Mereka bertugas merawat dan melestarikan perpustakaan, dengan cara memanfaatkan perpustakaan sebagai sumber belajar. Hal ini tidak mudah, karena terkait dengan sikap mental dan budaya masyarakat kita (termasuk warga sekolah), yang masih dalam tataran budaya mendengarkan.
Sebagai salah satu lembaga yang membentuk masyarakat belajar, sekolah harus mampu mengubah sikap mental dan budaya mendengarkan menjadi budaya membaca. Guru menjadi ujung tombaknya. Guru harus dapat menjadi contoh sebagai kelompok masyarakat yang berbudaya membaca. Bukankah ayat Al-Qur’an yang pertama turun adalah Iqra’? Bacalah! Karena dengan membaca seseorang akan terbuka wawasannya. Banyak sisi dunia yang dapat dilihat dengan membaca. Transformasi ilmu pengetahuan, juga terjadi melalui kegiatan membaca di perpustakaan.
Perpustakaan sekolah adalah wahana penyimpanan dan pelestarian peradaban manusia. Berbagai catatan sejarah peradaban masa lampau dan kebudayaan nenek moyang kita, dapat dengan mudah ditelusuri melalui perpustakaan sekolah.
Di perpustakaan sekolah tersimpan pula berbagai data dan informasi hasil penemuan dan pemikiran para ahli, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam era modernisasi dan globalisasi, fungsi perpustakaan sekolah semacam ini sangat penting. Dengan membaca bahan pustaka yang tersedia di perpustakaan, siswa dapat memekarkan fantasi dan ide kreatifnya. Dengan membaca catatan peradaban generasi sebelumnya, para siswa dipandu oleh guru untuk mengembangkan intelektualnya dengan dilandasi akar budaya bangsa sendiri. Hal ini sangat penting, karena jangan sampai generasi muda penerus bangsa lebih menyukai dan bangga pada budaya bangsa lain dari pada akar budayanya sendiri.