Pendahuluan
Setiap pembelajar bahasa memiliki piranti pemerolehan bahasa (Language Acquisition Device), namun piranti ini belum dapat menjamin keberhasilan pembelajar dalam menggunakan bahasa kedua. Hal ini disebabkan LAD sangat bergantung pada ketersediaan data masukan yang baik dari bahasa sasaran. Pada umumnya data masukan itu berasal dari lingkungan bahasa pembelajar.
Krashen menyatakan bahwa pembelajaran memperoleh bahasa kedua hanya dengan cara saja, yakni dengan cara mengerti makna pesan yang sampai kepadanya. Dengan kata lain si pembelajar dapat berbahasa kedua karena memiliki ketepahaman masukan; si pembelajar telah mendapat masukan yang bisa dimengerti maknanya. Jika masukan yang diterimanya tidak dapat dipahami, maka penguasaan bahasa kedua pembelajar tidak dapat bertambah sebab masukan itu tidak dapat diproses lebuh lanjut (Saryono, 1991: 56). Pembelajar dapat mengerti wacana yang berisi tatabahasa yang tidak diurutkan penyajiannya karena adanya bantuan konteks, pengetahuannya tentang kehidupan dan alam sekitarnya dan kemampuan linguistik yang telah dikuasainya.
Lebih jauh Krashen menegaskan bahwa input atau masukan berhubungan dengan masalah pemerolehan, bukan pembelajaran (Krashen,1982:21). Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa lingkungan informal memiliki hubungan yang erat (pengaruh yang besar0 terhadap proses penguasaan bahasa kedua.
Dengan proses inferensi data bahasa yang masuk sebagai masukan dalam pemerolehan bahasa kedua dapat diangkat sebagai pengetahuan linguistik yang sebelumnya tidak diketahui pembelajar. Pengetahuan linguistik ini didapat dengan cara mengaji dan menguji berulang-ulang tentang kebenaran pengetahuan linguistik dengan bahasa sasaran. Sehingga proses pemerolehan dapat menghasilkan pengetahuan linguistik yang dapat dipakai sebagai monitor.
Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa lingkungan informal berperan dalam pemerolehan bahasa kedua. Lingkungan informal dapat berperan sebagai masukan.
Lingkungan Bahasa
Lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar terkait dengan bahasa kedua yang sedang dipelajari. Yang tergolong lingkungan bahasa adalah situasi di rumah ketika nonton televisi, percakapan dengan kawan-kawan, dalam proses belajar mengajar di kelas, dan sebagainya. Kualitas lingkungan bahasa sangat penting bagi keberhasilan pembelajar dalam mempelajari bahasa kedua (Dulay, 1982:13).
Secara umum lingkungan bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yakni (10 lingkungan formal, yang dijumpai dalam proses belajar ,mengajar, (2) lingkungan informal (Krashen,1982:40). Krashen juga menyatakan bahwa untuk menguasai bahasa kedua pembelajar dapat menggunakan dua cara yakni melalui proses pembelajaran dan melalui proses pemerolehan. Pembelajaran merupakan proses yang disadari dan bertitik berat pada perhatian pembelajar pada bentuk bahasa atau struktur. Sedangkan pemerolehan merupakan proses yang serupa pada saat menerima bahasa pertama. Pemerolehan berlangsung sejalan dengan aktivitas yang tidak disadari oleh pembelajar. Dalam proses ini lazimnya lebih menekankan pada makna atau pesan, berlangsung secara alami, tanpa pengajaran formal (Ellis,1986:6).
Uraian di atas memperjelas bahwa lingkungan formal sangat berkaitan dengan pembelajaran. Lingkungan informal berkaitan dengan proses pemerolehan. Dalam komunikasi situasi formal frekuensinya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan situasi informal. Hal ini menjadikan lingkungan informal lebih berperan daripada lingkungan formal.
Lingkungan informal terjadi secara alami. Yang tergolong lingkungan informal adalah bahasa yang dipakai teman sebaya, bahasa pengasuh, bahasa orang tua, bahasa yang dipakai di media cetak atau elektronik dan bahasa yang dipakai guru dalam proses belajar mengajar di kelas.
Dulay (1982) menyatakan terdapat empat hal dari lingkungan bahasa yang berpengaruh dalam pemerolehan bahasa kedua, yakni, (1) sifat alami bahasa sasaran, (2) cara pembelajar dalam berkomunikasi, (3) adanya acuan yang konkret, dan (4) model bahasa sasaran. Dalam lingkungan bahasa yang bersifat alami titik berat komunikasi adalah isi pesan, bukan bentuk linguistiknya atau tata bahasa. Belajar bahasa secara alami akan memperlihatkan hasil kemampuan berbahasa yang lebih baik daripada melalui lingkungan formal yang lebih menitikberatkan pada pemerolehan bahasa secara sadar tentang aturan-aturan bahasa ataupun pemakaian bentuk formal linguistik.
Lebih jauh Dulay juga menjelaskan bahwa cara pembelajar berkomunikasi, baik komunikasi satu arah, komunikasi dua arah terbatas maupun penuh, sangat berpengaruh pada pemerolehan bahasa kedua. Dalam komunikasi satu arah, pembelajar hanya membaca atau mendengar bahasa kedua, tetapi pembelajar tidak dapat merespon. Dalam komunikasi dua arah terbatas pembelajar akan mendengar bahasa kedua, kemudian memberikan respon secara nonverbal atau tidak menggunakan bahasa sasaran. Sedangkan dalam komunikasi dua arah penuh. Pembelajar mampu meberikan jawaban dalam bahasa sasaran. Dari kenyataan ini dapat dilihat betapa pentingnya lingkungan bahasa memberikan masukan bahasa kedua, yang memungkinkan pembelajar mampu berkomunikasi dua arah penuh. Tentunya hal ini terjadi secara bertahap.
Adanya acuan bahasa yang konkret juga harus diperhatikan. Oleh karena itu, peristiwa yang diangkat sebagai bahan harus merupakan peristiwa atau hal yang dapat dilihat, didengar atau dirasakan secara langsung oleh pembelajar ketika percakapan sedang berlangsung. Komunikasi yang demikian dapat menjamin pembelajar dapat memahami banyak hal tentang apa yang dikatakannya dalam bahasa kedua. Dengan demikian dapat memicu perkembangan dan pemerolehan struktur dan kosakata bahasa sasaran.
Terkait dengan ketersediaan acuan konkret Long (Ellis,1982:157-158) menyatakan agar masukan dapat terpahami maka perlu diperhatikan bebeapa hal, (1) struktur dan kosakata yang digunakan berkomunikasi hendaknya sudah dikuasai oleh pembelajar, (2) berorientasi pada bahan yang bersifat “here and now”, (3) struktur interaksi dalam komunikasi harus dimodifikasi sedemikian rupa.
Dalam mempelajari bahasa kedua, pembelajar selalu memilih model yang mampu menghasilkan ujaran yang baik dan benar. Model bahasa kedua ini dapat dipilih sendiri oleh pembelajar dari lingkungan bahasanya. Model tersebut bisa jadi dari kawan, guru, orang tua, buku-buku, majalah atau koran, penyiar radio atau televisi dan sebagainya.
Peran Lingkungan Informal terhadap Pemerolehan Bahasa Kedua
Telah diuraikan bahwa lingkungan informal berperan dalam pemerolehan bahasa kedua. Peran tersebut menyangkut keberadaannya sebagai bahan masukan sekaligus bahan monitor. Salah satu lingkungan bahasa yang banyak berperan adalah teman sebaya.
Teman sebaya tampaknya memiliki pengaruh lebih besar dari pada orang tua atau guru terhadap pembelajar bahasa kedua. Milon (1975) dalam penelitiannya menemukan bahwa seorang anak Jepang berusia tujuh tahun yang imigrasi ke Hawaii lebih memahami ‘the hawaiian Creole English” yang dipelajari dari teman sebayanya dibandingkan denan “the english standart’ yang diajarkan gurunya. Anehnya ketika ia berpindah pada lingkungan kelas menengah dengan cepat ia mampu memakai bahasa Inggris baku seperti yang dipaki teman-temannya.
Hal serupa juga terjadi pada program celup di Kanada dan Amerika Serikat. Dalam program celup mengharuskan siswa-siswinya hanya memakai bahasa sasaran sebagai alat komunikasi sepanjang jam-jam sekolah. Kenyataan memperlihatkan bahwa siswa hanya akan memakai bahasa sasaran di dalam kelas, sedangkan di luar kelas bersama-sama kawannya akan digunakan lagi bahasa pertama.
Bukti lain tentang hal itu adalah pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah terutama di daerah. Dalam proses belajar mengajar di kelas, siswa menggunakan bahasa Indonesia hanya bila berkomunikasi dengan guru. Sementara jika berkomunikasi dengan teman-temannya cenderung mengggunakan bahasa pertama. Hal ini juga terjadi di luar jam pelajaran, frekuensi penggunaan bahasa pertama lebih besar dibandingkan dengan bahasa kedua (bahasa Indonesia).
Hal ini membuktikan bahwa problema program celup atau pengajaran bahasa Indonesia sebenarnya tidak terletak pada bagaimana cara anak-anak belajar, atau karena kualitas bahasa sasaran yang dipakai guru selama jam pelajaran berlangsung. Hal terpenting ternyata adalah menyediakan atau menyiapkan teman-teman sebagai model dalam bahasa sasaran (Dulay,1986).
Bahasa guru pun secara tidak langsung akan menjadi model bahasa sasaran, walaupun pengaruhnya tidak sebesar pengaruh bahasa yang dipakai teman-teman. Menurut Krashen bahasa guru dalam pengajaran bahasa asing mirip denan bahasa pengasuh. Para guru cenderung menggunakan struktur kalimat yang pendek atau sederhana ketika berkomunikasi dengan pembelajar.
Berikut ini beberapa hasil penemuan model bahasa guru dan perannya dalam pemerolehan bahasa kedua (Ellis,1986).
Bahasa guru pada umumnya memiliki ciri penyesuaian secara formal pada seluruh tataran kebahasaan. Gaies (1977;1979) melihat bahwa ujaran guru menampakkan penyederhanaan aturan sintaktik ketika ia berbicara di tengah-tengah siswanya. Henzl (1979) bahkan melihat bahwa bahasa guru pun seringkali disesuaikan dengan tataran kecakapan murid yang diajak berbicara.
Bahasa teman sebaya juga memiliki pengaruh besar dibandingkan bahasa bahasa orang tua. Anak-anak akan lebih banyak mempelajari perilaku bahasa dari teman-temannya daripada dari orang tuanya (Dulay,1982:31).
Lingkungan orang tua ini tampaknya hanya terbatas pada peran bahasa pengasuh terhadap pemerolehan bahasa pertama. Sedangkan untuk pembelajar dewasa, kekuatan bahasa pengasuh ini semakin berkurang, lebih-lebih bila dihubungkan dengan pemerolehan bahasa kedua. Bahasa pengasuh lebih mirip dengan bahasa penutur asing.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa linkungan bahasa teman sebaya memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan dengan orang tua dan guru dalam pemerolehan bahasa kedua. Pada program celup akan berhasil lebih baik jika tersedia penutur asli seagai teman sebaya pembelajar.
Bahasa teman sebaya, orang tua, guru, dan penutur asing merupakan lingkungan informal yang mampu menjadi data masukan yang baik dan abstraksi yang berupa aturan-aturan linguistik dapat dipakai sebagai bahan monitor.
Dalam pemerolehan bahasa kedua, peran lingkungan informal perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dibandingkan lingkungan formal.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
thx buat infonya. keren
BalasHapus